BUTUH GURU KE RUMAH UNTUK ANAK ANDA?
KOMPAS.com - Ketika masuk SMA, siswa menghadapi
pilihan masuk jurusan IPA atau IPS. Penjurusan ini biasanya berdasarkan
minat dan pilihan siswa, walaupun ada yang masuk jurusan tertentu karena
nilainya bagus atau atas saran orangtua dan guru.
Bagi siswa,
apa pun jurusan yang mereka pilih harus sesuai dengan minat mereka.
Alasannya, jika sesuai dengan minat, mereka akan lebih mudah mempelajari
materi pelajaran. Sekalipun nilai mereka cukup dan bagus untuk masuk
jurusan tertentu, tetapi jika jurusan itu bertentangan dengan minat,
mereka pun bakal kesulitan.
”Pilihan itu harus sesuai dengan
minat dan kemampuan siswa karena mereka yang menjalani. Penjurusan
biasanya terkait pilihan melanjutkan studi setelah SMA,” kata Adinda
Putri (15), siswa kelas X SMA Negeri 6 Bulungan, Jakarta Selatan, Rabu
(24/4). Dia berencana masuk IPA karena ingin kuliah di fakultas
kedokteran.
Rekannya, Mutiara Airin (15), sejak awal ingin masuk
IPS. Alasannya, dia suka dengan pelajaran-pelajaran IPS. ”Dari awal saya
tidak ingin belajar di IPA,” kata Airin.
Begitu pula Indira Rizkita (15). Dia akan memilih IPS karena ingin kuliah di fakultas ekonomi. ”Saya pengin menjadi akuntan.”
Menurut
Airin dan Indira, semula teman-teman mereka banyak yang ingin mengambil
jurusan IPA karena menganggap lebih banyak pilihan untuk mengambil
bidang studi selanjutnya. Namun, belakangan banyak pula yang berganti
pilihan ke IPS.
”Pelajaran di bidang IPA ternyata makin sulit dan
terasa berat. Itu menuntut kami belajar terus. Makanya banyak yang mau
ke IPS karena lebih santai sedikit,” kata Airin.
Sebagai siswa
tahun pertama SMA, siswa kelas X mendapat 17 pelajaran dalam satu
semester, antara lain Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika,
Biologi, Fisika, Kimia, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan,
Sejarah, Sosiologi, Ekonomi, Geografi, Bahasa Perancis, Komputer, dan
muatan lokal.
Semua pelajaran itu menuntut mereka belajar setiap hari. Bagi mereka, ke-17 mata pelajaran itu sangat melelahkan.
Tahun keduaUmumnya
penjurusan pada SMA diberlakukan pada tahun kedua atau kelas XI. Pada
semester kedua atau semester genap tahun pertama, siswa kian memahami
pelajaran-pelajaran di SMA dan konsekuensinya ketika memilih jurusan.
”Usai
tahun pertama, kami menjadi lebih yakin jurusan mana yang ingin
diambil. Walau nilai kami bagus untuk masuk IPA, kami lebih senang
pelajaran IPS. Jadi, kami yakin menetapkan pilihan IPS. Kalau tahun
pertama harus memilih, kami masih bimbang,” kata Airin.
Namun,
ada pula siswa yang memulai penjurusan pada semester kedua. Itu biasanya
berlaku bagi siswa yang masuk kategori cerdas istimewa setelah melalui
tes psikologi dan berdasarkan hasil jajak minat. Ini dilihat pula dari
hasil nilai mereka, apakah cenderung ke IPA atau IPS.
Salah satu
di antara mereka adalah Alif Syuhada Nibra (16), siswa kelas X A di SMAN
3 Setiabudi Jakarta. Sejak semester kedua, dia studi jurusan IPA,
sesuai pilihannya sejak awal dan hasil tes psikologi tim dari
Universitas Indonesia. Di SMA 3 Jakarta ada 30 siswa seperti Alif.
Nilai
mereka selalu dalam pantauan agar bisa masuk jalur undangan ke
perguruan tinggi. Selain itu, di kelas tersebut ada pula tutur sebaya.
Jadi, siswa yang lebih pandai di bidang tertentu mengajari
teman-temannya yang belum mengerti. Tujuannya agar semua anak mampu
menyelesaikan materi berbarengan. Alhasil mereka sanggup menuntaskan
materi pelajaran satu setengah kali lebih cepat dari kelas biasa.
”Itu
pilihan Alif, saya tinggal mendukung. Minggu lalu, dia ikut lomba water
rocket di PP Iptek Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta),” kata ibunda
Alif, Yenni (41), Kamis (25/4).
Mendukung pilihan anak juga
menjadi keputusan Erry Martini saat anak sulungnya studi di SMA Negeri
81 Jakarta Timur. Walau dia dan suami ingin sang anak masuk jurusan IPA,
mereka menuruti dan mendukung pilihan si anak masuk IPS.
”Apa
pun pilihan dia, pasti sesuai kemampuannya. Anak itu lebih mampu menilai
kemampuan dirinya sendiri. Kami, orangtua, tidak menentang apalagi
menyesalkan pilihan dia,” kata Erry tentang si sulung yang kini kuliah
di bidang perbankan.
Guru yang mengetahui kemampuan akademis
siswa juga menyerahkan pilihan jurusan sesuai minat setiap siswa. Guru
hanya menyarankan setelah melihat dan menilai siswa.
”Pernah ada
siswa yang memilih IPS, tetapi karena pintar dan nilai-nilainya memenuhi
syarat untuk masuk IPA, guru menyarankan dia pindah jurusan. Ternyata
dia mampu. Ada pula yang sebaliknya, setelah studi jurusan IPA lalu
pindah ke IPS,” kata Endang Supriastuti, guru Bahasa Inggris di Sekolah
Atlet Ragunan Jakarta Selatan. Di sekolah itu, semua guru merangkap
mengajar SMP dan SMA.
Sekolah kejuruanLain
halnya siswa SMK. Mereka memilih penjurusan sejak awal masuk. Jadi,
sejak semester pertama tahun pertama, mereka sudah belajar di jurusan
yang diinginkan.
”Tetapi itu sesuai minat siswa, bukan pilihan
orangtua, teman atau atas saran guru,” kata Desi Apritasari (17), siswa
kelas III SMK Negeri 16, Jakarta. Dia mengambil jurusan akuntansi.
Sama
halnya dengan Neni Indriani (17) dan Filia (17). Mereka memilih jurusan
sejak kelas awal di SMK. Selepas SMP mereka menetapkan jurusan yang
mereka idamkan.
”Penjurusan di SMK berbeda dengan SMA. Setiap SMK
memiliki jurusan sendiri, misalnya SMK Pariwisata punya jurusan berbeda
dengan SMK Teknik walau sama-sama jurusan bisnis,” kata Desi.
KurikulumPenjurusan
pada SMA di Indonesia berbeda masa, berbeda kurikulum, dan berbeda pula
namanya. Pada masa Orde Lama tahun 1950-an, SMA dibagi tiga, yakni SMA A
(Bahasa), SMA B (Ilmu Pasti dan Ilmu Alam), dan SMA C (Ilmu Sosial).
Dekade berikutnya berubah menjadi semua SMA membuka ketiga jurusan tersebut. Jadi, setiap SMA ada jurusan Bahasa, IPA, dan IPS.
Kemudian
penjurusan itu berubah lagi menjadi A1 (Fisika), A2 (Biologi), A3
(Sosial), dan A4 (Bahasa) pada tahun 1980-an. Selanjutnya berubah lagi
menjadi IPA dan IPS. Pada Kurikulum 2013, penjurusan tersebut disebut
peminatan. (IDA SETYORINI)
Editor :
Caroline Damanik